Selamat Menyimak Kisah Pulau Catu
Dulu kala ada sebuah desa di Bali. Orang-orang bekerja sebagai petani. Salah satu seorang dari petani itu bernama Jurna. Dia adalah seorang petani yang rajin, yang selalu memiliki panen besar. Namun, dia tidak pernah puas. Dia ingin memiliki panen yang lebih baik dan lebih baik.
"Aku akan berjanji untuk dewa. Jika mereka memberikan saya lebih baik daripada panen saya miliki sekarang, saya akan memberi mereka persembahan dan saya akan berbagi panen ke tetangga," kata Jurna pada istrinya.
"Saya setuju. Tapi ingatlah, Bapak harus memenuhi janji Bapak sendiri," sahut istrinya.
Segera, Jurna memiliki panen yang lebih baik. Dia memiliki lebih banyak beras daripada yang pernah dia peroleh sebelumnya. Tentunya, dia senang. Dan seperti yang dijanjikan, dia mempersiapkan persembahan kepada para dewa dan juga membagi perolehan panen tersebut kepada tetangga-tetangganya. Mereka sangat bahagia.
Hanya saja, Jurna kurang puas dengan hasil yang diperolehnya sekarang. Dia ingin memiliki panen yang lebih baik dan lebih baik dan lebih. Oleh karena itu, dia berjanji kepada dewa bahwa dia akan menggandakan persembahan dan berbagi kepada tetangga.
Keinginannya terkabul. Panen yang diperolehnya jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Para petani lain se-desanya mengagumi keberhasilan Jurna. Mereka sih senang-senang saja, karena Jurna membagi hasil panennya kepada mereka.
Suatu hari, Jurna pergi ke sawahnya. Ketika tiba, dia melihat tumpukan tanah di tanah, seperti sebuah catu. Catu terbuat dari tempurung kelapa, yang dipakai untuk mengukur jumlah beras. Di rumah, Jurna membicarakan tentang tanah yang mencuat bak catu kepada istrinya.
Istri Juna lalu mempunyai ide. "Mari kita membuat catu dari beras," katanya. Jurna setuju. Kemudian, mereka membentuk nasi seperti catu.
Pada hari berikutnya, Jurna pergi ke sawahnya dan memperhatikan catu tanah yang ada di sawahnya. Dia memperhatikan catu tanah di sawahnya semakin besar.
"Hmm ... Aku akan membuat nasi catu lebih besar dari ini," kata Jurna sendiri. Dia meminta istrinya untuk membuat catu nasi yang lebih besar. Dia merasa sangat puas. Dia ingin menunjukkan kenaikan catu kepada tetangganya. Ia berharap tetangganya akan mengungkit dia sebagai orang kaya, dan begitulah… para tetangga memuji Jurna dan istrinya! Jurna besar kepala.
Pada hari berikutnya, Jurna pergi ke sawahnya. Dia berharap catu tanah tidak semakin besar dan besar. Tapi dia salah. Anehnya, catu tanah lebih besar.
"Jangan khawatir, saya punya banyak beras. Aku bisa membuat nasi catu besar," kata Jurna dengan arogan. Sementara dia membuat catu beras, dia berpikir bagaimana tetangga akan mengungkit dirinya. Dan keinginannya terkabul. Semua tetangga begitu kagum dengan besarnya catu beras. Mereka semua mengatakan bahwa Jurna sangat kaya. Jurna menjadi lebih arogan.
Kemudian Jurna pergi ke sawahnya. Dia berharap catu tanah akan berhenti tumbuh. Tapi dia salah. Sekali lagi, itu menjadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Jurna benar-benar marah. Dia membuat beras catu lebih besar dari sebelumnya. Ini selalu berulang. Setiap kali pergi ke sawah, Jurna selalu menemukan catu tanah menjadi lebih besar dan lebih besar.
Istri Jurna selalu mengingatkan Jurna untuk berhenti membuat beras catu. Sang mengatakan bahwa keuntungan yang didapat dari pertanian makin sedikit, karena terpakai untuk membuat catu nasi.
Tapi, Jurna yang merasa jumawa mengabaikannya. Dia hanya berpikir bagaimana dia bisa membuat catu berasnya lebih besar dari catu tanah. Segera dia kehilangan semua nasinya. Ia menjadi miskin. Dia menyesali perilaku buruk. Sementara itu, catu tanah menjadi sangat besar. Rasanya seperti bukit. Orang-orang kemudian menamakannya sebagai Catu Hill atau Bukit Catu.Pengarang: Anonim